Apakah
manusia menyukai akhir yang bahagia? Kodratinya sih seperti itu, tapi toh
banyak juga orang yang malah lebih suka membaca atau menoton film yang justru
sad ending. Yang akhirnya tokoh utama pria meninggal, kasih tak sampai,
ternyata tak cinta, dan sebagainya. Menurut pendapat mereka, itulah cerita yang
leih terlihat manusiawi. Manusiawi? Apakah akhir yang bahagia itu tak mausiawi?
Karena dalam cerita baik komik, film, novel, bahkan dongeng anak sebelum tidur
selalu berakhir dengan bahagia, maka banyak orang berfikir, kehidupan adalah
sebuah realita, bukan cerita semata.
Padahal
sering kali kita tak menyadari bahwa bahagianya kita dengan adegan happy ending
dalam kehidupan rumit dan remeh kita ini. Ketika angkot yang lama ditunggu
akhirnya datang, ketika nilai ujian berakhir baik, ketika hendak bepergian
hujan tak turun. Apakah itu bukan happy ending? Meski sering kali sulit
berfikir bagaimana akhir dari sebuah pengharapan atau juga penantian.
Memikirkan
akhir yang bahagia sering kali membuat terlena hingga tak siap untuk menghadapi
hal yang jauh dari perkiraan tersebut. Karena dalam istilah Cina, yin dan yang
selalu ada, maka bolehlah kita berfikir panjang dengan hal tersebut. Agar bila
sesuatu yang buruk terjadi, maka kita akan siap dan tangguh untuk menerima hal
tersebut. Manusia terlalu rapuh dan lemah untuk sekedar menghadapi kenyataan
yang ada.
Perasaan bangkit dan mengingat masih ada janji
masa depan lain yang menunggu di depan mata sana dengan mengumpulkan segala
kekuatan dan sisa energi yang berhasil dikumpulkan. Siapa pula yang berharap
kejelekan dan akhir yang menyedihkan dalam hidupnya sendiri. Sesungguhnya akhir
dari kehidupan, bahkan kehidupan itu sendiri sejatinya ada di tangan manusia
itu sendiri. Bila kita yang menentukan, untuk apa hanya menjadi sebuah rencana
manis? Bergerak dan atur kembali strategi untuk hidup demi mencapai akhir yang
bahagia, yang tentunya kita harapkan dan kita impikan setelah diperjuangkan.