Aku Akan Berubah
Ini adalah
sepenggal cerita dari beribu-ribu episode
hidupku, yang tak bisa kubagi dengan orang lain, kecuali MAGENTA. Sahabat yang
tak akan pernah hilang meski bayanganya telah terhapus. Dan dia selalu ada
disini. Di hati.
Malam itu, disebuah
perkumpulan besar yang berlokasi di Auditorium. Aku menerima secarik surat yang
berisi bahwasanya aku ditugaskan
menjadi pembuat soal ujian pelajaran sore, yang memang tinggal dua minggu lagi.Di dalamnya tertera kelas dua khos atau bisa disebut kelas dua khusus
bagi anak luar negeri. Kebanyakan berasal dari Thailand, Malaysia, dan
Singapura.
Tujuh hari berlalu
dan aku telah menyelesaikan tugasku dalam membuat soal-soal itu, meski aku
terbilang telat lima hari karena kepergianku ke rumah sakit selama tiga hari.
Ya,,ayahku dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan parah, yang berakibat pada
patahnya tujuh tulang rusuknya. Aku dijemput oleh ibu dan langsung melesat ke
rumah sakit. Aku tak sempat berfikir akan tugasku untuk membuat soal yang pasti
akan terbengkalai nantinya.
Ayahku terkulai
lemas, dengan dada yang membengkak. Operasi akan dilangsungkan besok pagi pukul
tujuh tepat. Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa, sambil memandangi foto kami
bertiga, aku, ayah, dan kakakku yang kini jauh di luar negeri. Ibu tak ada di
foto ini karena ibu yang mengambil gambar kami.
Operasi
berlangsung selama sepuluh jam. Tiga orang dokter yang menangani ayahku,
spesialis jantung, tulang dan spesialis organ dalam. Aku terlalu capek menunggu
hingga tanpa sadar aku tertidur di ranjang rumah sakit sampai para dokter itu
membangunkanku. Ternyata operasinya telah selasai. Alhamdulillah..
Operasi berjalan
dengan lancar, dan dalam waktu lima jam ayahku telah sadar dari pengaruh obat
tidurnya. Aku senang bisa melihatnya kembali melihatku.
Keesokan harinya aku
harus kembali, karena pihak pondok hanya
memberiku izin selama tiga hari untuk menjenguk ayah. Tak apa, yang penting
ayah telah keluar dari masa kritisnya.
Kulakukan
aktifitas siangku seperti biasa. Keliling kelas saat pelajaran sore
berlangsung. Dan hari itu aku berencana untuk menyerahkan soal-soal yang telah
aku tulis kepada guru penbimbinng. Dan semuanya beres,,asyiikkk…
Diperjalanan
menuju bel yang akan kupukul tanda pelajaran sore selesai, tiba-tiba krekk…rok
hitam yang aku pakai untuk mengendarai sepeda tua ini sobek, dan berlubang
besar. Karena ada beberapa jahitan yang terbuka sebelumnya, “Apes banget sih
aku ini,” rutukku dalam hati.
“Shof…
pukulin jaros-nya ya, fustani mumajjaq,”
pintaku ke salah satu temanku.
Aku pulang dan
mengganti rok yang sobek dengan rok yang utuh pastinya. Karena aku berencana
untuk menyerahkan soal ujian yang telah diperiksa oleh pembimbing ke kantor
panitia ujian, maka aku memilih untuk mandi saat menunggu waktu ashar, agar
bisa langsung pergi setelah ashar nanti.
“I am ready to
go…,”sorakku dalam hati. Aku masuk kamarku yang sempit, dan tidak seperti
biasanya, teman sekamarku melihatku dengan tatapan mengasihani.
What’s going on? “Ada apa, kok
ngeliatnya gitu sih?”aku bertanya dengan nada curiga.
“Anti
harus bikin soal lagi Al,,soal yang anti taruh di keranjang sepeda tadi,
udah dilihat sama anak kelas dua khos. Mereka melihat soal itu. Dan anti
disuruh datang ke gedung Bosnia 103, sekarang!”ucap Azki panjang lebar.
Aku tak sanggung lagi berfikir, otak dan hatiku beku, bahkan air
mataku pun tak bisa meleleh. Aku menangis didalam hati.
“Oh…ya, ntar aku
kesana,”
jawabku singkat.
Berbagai macam
omelan tertuju padaku. Yang katanya aku cerobohlah, gak hati-hati, kurang
teliti, gak menjaga amanat, dan sebagainya dan sebagainya. Aku terima ini.
Setelah Isya’,
kerudung merah hijau yang lebih mirip semangka ini kini bersemayam diatas
kepalaku, menyingkirkan peran kerudung putih yang dulu setia denganku.
Bermacam-macam hukuman aku terima, seperti hafalan surat Al-Qur’an yang lumayan
panjang-panjang, dan meminta nasehat ke wali kelasku saat itu. Seorang guru
senior yang katanya bisa mengetahui isi pikiran orang lain. Aku tak begitu
percaya dengan hal itu.
Dan tiba saat
dimana aku sekarang telah berhadapan dengan beliau. Aku menjelaskan maksud dan
tujuanku menghadap beliau. Dan semua ceritaku dari awal masalahku ini, sampai
apapun yang aku rasakan. Aku tak peduli apa tanggapan beliau tentang diriku
nanti, yang penting aku jujur pada diriku sendiri.
Aku merasa hanya aku
yang dibebani, dan anak yang mengambil soal dari keranjang sepedaku, sepeda
bagian pengajaran lebih tepatnya, tidak mendapatkan hukuman. Sama sekali.
Dengan dalih bahwa dia terlalu kecil dan belum mengerti apa-apa. Dan memang
sifat anak luar negeri yang belum bisa beradaptasi dengan sopan santun kepada
kakak kelas. Mereka belum tau bahwa mengambil sesuatu dari keranjang sepeda
bagian pengajaran ataupun keranjang sepeda guru adalah salah satu bentuk dari
pelanggaran. Itu adalah alasan yang diargumentasikan oleh seorang guru, dan
argumentasi ini pulalah yang belum bisa aku terima saat itu, dan mungkin sampai
sekarang. Menurutku, bukanya lebih baik anak ini diberi semacam hukuman walau
sedikit. Agar menjadi pelajaran hidup untuk
dirinya, dan juga menjadi pelajaran bagi yang lainya, supaya tidak terulang
kejadian seperti ini. Aku berharap beliau mengerti apa yang
aku rasakan.
Namun ini tak
seperti dugaanku. Bentakan yang membuat telingaku memerah keluar dari beliau.
Aku tak bisa berkata kata lagi. Aku bergeming.
“Pondok itu Cuma ingin
menunjukan kesalahanmu, kamu terlalu sombong untuk
hal ini. Murid-murid tidak perlu tahu
apa salahmu sampai kamu kayak gini. Tapi pondok ingin ember tahu kamu kalau
kamu itu salah, dengan alasan apapun dan ini mungkin cara yang tepat untuk
mengingatkanmu akan semua kesalahanmu.” Intinya pondok tak perlu alasan untuk
mengingatkanku atas semua kesalahanku disini.
“Astaghfirullah…sesombong
itukah aku?” batinku dalam
hati.
Hatiku bergetar.
Namun sebisa mungkin air mata yang sukses kubendung tak boleh mengalir. Aku tak
akan menangis di depan sosok yang ada di depanku ini. Itu tak mungkin. Aku
kuat.
Setiba
di kamar. Aku yang hanya tersenyum mengingat kata-kata yang terlontar dari
beliau, guruku, dan akhirnya menceritakan apa yang telah beliau katakan. Sekali
lagi, aku tidak bisa menangis disaat seperti ini. Aku beruntung mempunyai
teman-teman yang sangat mengerti diriku. Merekalah obat terbaikku.
Aku
hanya tak ingin dinilai sombong karena cara bicaraku yang sedikit kasar, atau
caraku saat memandang orang lain, atau bahkan cara berjalanku yang
mungkin....ya..kurang berkenan dihati teman-temanku, dan khususnya dihati
beliau.
Aku
akan berusaha merubah diriku menjadi pribadi yang lebih baik. Lebih teliti,
tidak ceroboh, dan tidak menyepelekan hal-hal kecil, yang nanti akan berakibat
fatal. Aku tak ingin kejadian ini terulang kembali dalam hidupku. Cukup sekali
ini saja. Dan aku akan berubah menjadi manusia yang lebih berkualitas. Nahkoda
yang tangguh tak akan lahir dari lautan yang tenang.
Ed. Alfi Ramadhani
Comments
Post a comment