Tahun pertamaku,
2007.
Aku memasuki
kawasan baruku, Gontor Putri 1, setelah enam bulan lamanya aku belajar di
Gontor Putri 2. Aku bkan anak yang pintar dengan segudang prestasi, kelasku
satu L. Kelas teratas di Gontor Putri 2 namun tidak di Gontor Putri 1. Kelasku
bukanlah apa-apa, masih banyak kelas-kelas unggulan diatasku.
Di tahun ini sudah
ada teman-temanku yang menjadi Duta Keputrian ataupun menjadi pemenang lomba
Pidato, aku ingin menjadi mereka yang sudah berani memperlihatkan kemampuannya
sejak kelas satu. Tapi apa daya parcaya diriku sangatlah terbatas, dan aku sadar tipe diriku yang pendiam. Jadi biarlah
aku menunggu waktu dan kesempatan yang teat dan akan ku tunjukkan siapa sebenany
diriku.
Auditorium meeting
hall.
Di tahun yang
sama. Aku dan seluruh santriwati berkumpul di aula pertemuan yang cukup untuk
menampung semua murid di Gntor Putri satu maupun dua. Aula yang dibangun dari
wakaf seorang mantan presidden Indonesia yang ke-4, Megawati Soekarno Putri.
Dan diresmikan sendiri oleh beliau bapak Taufik Kiemas pada tahun 2005. Sungguh
haiah yangbesar bagi kami yang memang belum memiliki aula untuk mengadakan
perkumpulan besar. Semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik.
Aku termenung
melihat kakak-kakak kelas enam melepas jabatan mereka sebagai anggota OPPM, dan
menyerahkannya kepada anggota pengurus yang baru dari kelas lima.
“Laporan
Pertanggungjawaban Organisasi Pelajar Pondok.....,” suara seorang MC menggema
di telingaku. Suarany terdengar tegas, tidak terlalu parau dan tidak juga
terkesan manja, semuanay terdengar membangkitkan semangat warga Darussalam.
Tepuk tangan, sorakan dari berbagai sudut penonton kian membahana. Aku
terkesiap melihat suasana ini, ingin rasanya aku merasakan apa yang dirasakan
sang Master of Ceremony itu. Kapan aku bisa merasakanya? Aku juga ingin semua
santriwati mendengar suaraku, meski mereka tak mengenalku ini suatu kebanggaan
tersendiri bagiku. Bagaimana ya rasanya duduk disana, di kursi paling ujung
dekat dengan panggung. Aku berharap akan tiba kesempatan untukku agar bisa
merasakaan pengalaman langka itu. Semoga. Amiin.
Tahun kedua.
Memang sudah
menjadi peraturan, bahwasanya peserta seleksi MC hanya untuk santriwati kelas
tiga keatas, artinya tak ada kesempatan untukku yang baru duduk di kelas dua. Lagi
pula aku pun tak ada apa-apanya jika harus bersaing dengan kakak kelas yang telah
makan asam garam disini. Mungkin ini waktuku untuk melihat dan
belajar dari mereka dahulu, nanti jika tiba waktuknya aku pasti bisa.
Akhirnya di tahun
ini aku kembali melihat sang MC membaca urutan acara. Menguasai seluruh hadirin
dengan suaranya yang sangat aku kagumi. Sesekali aku dan teman kelasku mencoba
membaca susunan acara seperti apa yang sering kita dengar dari pembawa acara dalam
perkumpulan. Berlatih dirigen dalam menyanyikan himne Oh Pondokku pun kami
lakoni, asalkan ini bermanfaat kenapa tidak, ini sangat menyenangkan.
“Ah...tanganku
terlalau kaku untuk melakukanya, aku sadar diri,” pikirku. Tak ada harapan
sedikit pun untuk mencoba menjadi dirigen tahun depan, yang penting jadi MC.
Hasratku kian membuncah . Tak sabar rasanya menunggu tahun berganti. Aku ingin
cepat-cepat menjadi kelas tiga dengan papan nama kuninng di kerudungku nanti.
Aku akan mengikuti seleksi pertamaku tahun depan.
Tahun ketiga.
Ini saat yang
tepat bagiku untuk mewujudkan cita-citaku, menjadi Master of Ceremony, pemegang
kendali dari jalanya pertemuan. Doa yang selama ini menjadi kekuatan utamaku
terus aku panjatkan dan tak pernah permohonan untuk mejadi seorang MC absen
dari list doaku. Apapun bisa terjadi atas kekuatan do’a. “Ya Allah...aku
hanya ingin mendapat pengalaman baru di hidupku ini, izinkanlah aku merasakanya
walau hanya sekali seumur hidupku ya Allah...Amiin.”
Dan sekarang
aku berada di ajang pemilihan MC untuk suatu acara pondok. Do’a, dan hanya
inilah kekuatan terbesarku sesaat sebelum membaca teks yang sudah ditanganku.
“Kuliah Umum Babak Pertama...,” aku berusaha membaca baris demi baris dengan
seksama agar tak ada satu huruf pun yang
aku tinggalkan.
“Sudah cukup, yakfiiki
ukhti! Masmuki?” tany kak Mulia yang setahuku dia menjabat sebagai
ketua bagian keamanan pusat tahun ini.
“Nanda ukhti.”
“Man?”
“Nanda Nabilah
ukhti,” kusebut namaku yang memang belum pernah didengar olehnya.
“Anti habis
ikut perkemahan ya? Kok suara anti habis begitu?”
“Laa ukhti.”
“Tapi suara anti
itu mau habis, ya sudah, tahun depan masih ada seleksi lagi , cara membaca
teksnya sudah betul, tapi suara anti nanti tambah habis kalau masih
mengikuti latihan MC. Banyak minum air putih biar cepet pulih suarany ya
Nan!”kak Mulia menerangakan ku semua tentang hasil seleksi yang pada intinya
aku tak lolos seleksi. Entah setelah teriak-teriak ataupun tidak, suaraku memang
sudah serak dari lahir, ditambah penyakitku yang makin menambah serak suara.
Tak ada pilihan lain kecuali menerimany dengan lapang dada. Seleksi masih ada
tahun depan Nan!
Suaraku memang
serak, penyakit tenggorokan yang bisa dibilang serius juga sangat
mempengaruhinya. Dan ini tak bisa dasembuhkan. Hanya bisa diringankan dengan
memakan makanan yang sehat tanpa pengawet, tak terlalu asam, pedas, dan minum
air hangat sebanyak-banyaknya. “Repot sekali menjadi diriku, mau makan saja
banyak laranganya.”
Aku tak bisa
menerima ini pada awalnya, mask hany karen suaraku yag serak sedikit aku tak
diloloskan untuk menjadi MC, padahal cara membacaku sudah dibilanng benar dan
memenuhi kriteria.aku tak habis pikir. Kuyakinkan diriku aku bisa menerimanya.
Aku bukan tipe orang yang tak bisa menerima kenyataan. Aku punya kesempatan
lagi. Aku yakin. Doa yang sama selalu aku panjatkan kepada hadirat Allah yag
maha pemurah. Dan permintaan untuk merasakan bagaimana seorang MC pun lagi-lagi
tak pernah absen dari list. Aku tak meminta untuk selalu menjadi Mc
diseiap acara, aku hanya ingin merasakanya, walau sekali itupun lebih dari
sekedar cukup. Tak ada doa yang tak terkabul, hanya Allah sedang menunggu waktu
yang tepat untuk memberikanya.
Berbagai seleksi
MC aku ikuti, dan hasilnya selalu sama, dan dengan alasan yang tak berbeda,
suaraku yang serak. Galau, penat,sebel, apa salahnya memiliki suara yang serak?
Toh ini juga pemberian Allah yang harus kita syukuri. Emosiku yang berhasi ku
kendalikan membuatku lebih tenang, belajar menerima kegagalan. Masih ada
kesempatan tahun depan. Aku tak yakin akan kekuatanku tapi aku yakin pada
kekuatan doaku.
Derap langkah
sepatu mngagetkanku. “itu pasti tteman-temanku yang mengikuti seleksi komandan
peleton PKA. Tangisku pecah, ingin sekali rasanya aku mencoba seleksi kompel,
tapi demam yang aku rasakan tak kunjung hilang, dan ini tak memungkinkanku
mengikuti seleksi kompel.aku hanya butuh kesempatan kedua.
Kesempatan itu
datang juga. Ini seleksi pertamaku semenjak aku sembuh dari sakit. Seleksi ini
dihadiri langsung oleh Pak Fairus rupanya, ustad yang memang telah ahli dalam
dunia baris berbaris.hatiku dagh digh dugh tak karuan. Napasku pun
tersengal-sengal akibat berlarian dari rayon menuju lapangan utama yang
berlokasi di depan Auditorium. Kami semua terdiam mendengar inspeksi dari pak
Fairus.
Satu demi satu
peserta maju menunjukan kemampuan masing-masing.nafasku makin tak beraturan
saking groginya. Aku tak semat berfikir, yang aku lakukan hanya mengambil nafas
dan...”nama Nanda Nabilah, jakarta, jabatan komandan peleton.”dan aku mundur
selangkah. Aku tak percaya aku telah melakukanya barusan. Belum hilang rasa
grogi setelah menunjukan kemampuanku. Sekarang pak Fairusdan beberapa kakak
pelatih mengumumkan siapa yang lolos ke seleksi berikutnya. Aduh...jantungku
makin tak terkontrol, berharap untuk masuk seleksi lanjutan tapi jika kuingat
lagi bagaimana suaraku tadi aku jadi takut untuk berharap lebih.
Lapangan yang luasini
mendadak menjadi sempit, oksigen seakan untuk kita hirup dalam satu waktu.
Kringat yang membasahi hijab dan kaosku pun tak lagi kuhiraukan. Kita mematung,
semuanya berdiri dalam keadaan siap. Karena ini latihan baris berbaris maka tak
ada peraturan yang membolehkan kita untuk duduk. Kami mengerti, dan menaati
konsekuensinya jika memang masih ingin megikuti latihan baris berbaris ini.
Salah satu dari
kak pelatih mengambil alih komando, “semuanya, istirahat ditempat, grak..”
suara kak pelatih terdengar lantang. Kami dibuatnya kagum dengan suaranya.
Nama-nama anak yang
berhasil lolos ke seleksi selanjutnya akan dipanggil. Namademi nama dipanggil
dan mulai maju ke depan meninggalkan barisanku. Saat itula aku merasa keuatan
doa sangat aku buuhkan, dan namaku...ada. ini benar-benar keajaiban bagiku. Aku
terpilih untuk maju ke seleksi selanjutnya. Alhamdulillah
Perjuangan memang
belum dimuai, namun gendang peperangan telah ditabuh. Kami berlarian menuju
lapangan hijauberbalutkan celana olah rag dan kaos lengkap bersama sepatu dan
sebotol minuman.
Latihan terus
berlangsung sebagaimana mestinya. Dan hari ini pun tetap saja ada latihan.
Berbaris, berlari dan membentuk formasi barisan. Itulah yang kami selalu
lakkukan setiap hari. Uji kemampuan suara pun tak pernah ketinggalan, kecualai
aku, kakak pelatih memberiku dispensasi untuk tidak mengeluarkan suara ketika
latihan selama tiga hari dalam seminggu. Sekali lagi karena suarak yanng rawan
hilang ditengah latihan. Mereka memang orang-orang baik, aku beruntung dilatih
oleh mereka. Senyumku tertambat di wajah. Aku tak igin semua ini menghilang.
Rasa takut ini
kian menjadi, ingin rasanya menjerit. Jikalau bumi bisa menelanku aku berharap
aku sudah dilumatnya saat ini juga. “Entahlah...mungkin aku terlalu gugup
memanangi panggung yang telah tertata apik dngan bendera tri warna yang
menutupi langit-langitnya. Baleho berwarna biru dan dominan terhadap warna
langit, serta icon gedung Aisyah, Khodijah, dan Kuwait lengkap dengan dua
pohonnya yang saling berhadapan seakan pintu gerbang menuju tempat itu, kini
sudah berdiri gagah menghadap panggung kehornatan, lengkap dengan enam bendera
pondok berukuran sedang diatasnya.
Aku dan ketiga
belas kawanku memasuki lapangan, menyiapakan barisan, dan memberi laporan
kepada pemimpin upacara. Semuanya erjalan lancar sebagaimana yang seharusnya. Alhamdulillah...
Semua rentetan acara berlangsung rapi, bendera sampai diujung tiang tepat saat
lagu Indonesia Raya selesai dinyanyikan, pasukan pembawa dan pengibar bendera
berjalan beriringan, semuanya berjalan serentak. Kalaupun ada kesalahan
unntungnya kita bisa menutupinya sedemikian rupa sehingga tak begitu terlihat
dimana letak kesalahanya. Aku bangga bisa diantara mereka.
Cepet-cepat aku
kembali ke Auditorium, sesaat setelah barisan konsulat meninggalkan lapangan
upacara. Aku terpilih untuk membacakan susunan acara dalam Kuliah Umum Babak
Pertama dalam PKA. Setelah mengikuti seleksi yang begitu panjang dan
berkali-kali akhirnya aku disni, duduk di kursi MC yang telah aku idam-idamkan
sejak kelas satu. Kata pak Fairus suara serakku tak menjadi masalah untuk
menjadi MC.
Aku berdiri
menerawang, apa benar aku memang disini. Kuliah Umum Babak Pertama, itulah
tulisan yang sedari tadi malam telah dipersiapkan oleh panitia PKA. Tepat
didepannya jejeran kursi-kursi yang diperuntukan bagi ketiga pimpinan pondok,
anggota badan wakaf dan seluruh pengasuh dan direktur dari seluruh Gontor
cabang, tak lipa semua guru-guru senior yang telah setia membimbing kita.
Subhanallah...ini lebih dari apa yang aku inginkan. Dilluar dugaanku. Padahal
aku sudah cukup senang bisa duduk di kursi ini ditambah lagi apabila semua yang
hadir bisa mendengar suaraku yang serak ini. Suaraku layak juga ternyata.
Bapak pimpinan
tengah menyampaikan pidatonya yang berisi pengenalan pondok untuk santriwati
baru khususnya dan untuk kita semua umumnya. Aku terdiam merenungi semuanya.
Aku yang polos saat kelas satu yang hanya bisa melihat MC dari kejauhan, aku
yang masih takut-takut saat mencoba mengikuti berbagai perlombaan dan rasa
keewaku bahwa tak ada seleksi MC bagi kelas dua, aku yang gagal seleksi karena
suaraku yang kurang jernih, dan aku yang kini duduk di kurs kebesaran seorang
MC. Doaku tak akan terputus untuk mendapat apa yang aku inginkan dan tak akan
pernah terpotong untuk mensyukuri apa yang telah aku dapatkan.