Kehidupan di Gontor terlebih sampai
empat, lima, enam hingga tujuh tahun pastilah penuh warna, aya kenangan,
banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang bisa diambil. Ada yang sejak dini
sudah menyadari hal ini, bahwa Gontor adalah arsitek kehidupan masa depannya,
sehingga dengan kesadarannya yang penuh dia menjadikan pengalaman hidupnya di
Gontor sebagai lentera yang menerangi langkah-langkah pengembaraan menemukan
jati dirinya. Namun banyak juga yang terlambat menyadari bahwa dalam dirinya tersimpan
khazanah pengalaman hidup yang tiada ternilai mahalnya, meski demikian
pengalaman hidup di ma’had ini akan tetap menjadi residu yang mengendap
di benak dan sanubarinya, suatu ketika pasti akan muncul kembali dan menjadi
sumber inspirasi yang tak pernah kering.
Kehidupan di Gontor memang telah mensibghah
(mewarnai) cara hidup para santrinya, bagaimana tidak? Bukankah sudah
sekian banyak udara Gontor yang kita hirup dan kemudian bersenyawa dalam darah
dan daging kita, sekian banyak air Gontor yang kita minum dan mengalirkan
sendi-sendi kehidupan metabolisme tubuh kita, sekian banyak makanan Gontor yang
kita lahap serta menjelma sebagai tulang, daging dan darah kita, sekian banyak
ucapan, arahan dan nasehat higga peringatan yang masuk ke telinga kita,
menembus ke fikiran dan hati kita, pelajaran berupa khazanah keislaman dan
pengetahuan umum memperkaya bekal masa depan kita hingga pengalaman kehidupan
secara keseluruhan di Pondok yang adat, ketat, disiplin namun vareatif dan
tetap menggairahkan. Kalau sampai ada yang tidak terkesan dengan kehidupan
pondoknya atau merasa hampa dari pengalaman hidup yang berharga pstilah dia melek
walang selama di Gontor.
Sebesar keinsyafanmu sebesar itu
pula keberuntunganmu. Karena kamu akan menempatkan dirimu sesuai dengan
mindset yang ada dalam benak kesadaranmu. Kalau kamu memandang Gontor
sebagai penjara, maka jiwamu akan tetap kerdil terpenjara, memandang Gontor
sebagai medan penggemblengan maka kamu akan menjadi manusia yang terlatih
dengan life skill, memandang Gontor sebagai sajadah besar dan panjang,
semua gerak gerikmu akan bernilai ibadah, memandang Gontor sebagai medan juang,
kamu akam mendapatkan ‘izzah serta syahaadah di dalamnya.
Sayangnya mereka yang terlibat dalam
penulisan ini masih sedikit dibanding semua alumni angkatan 2012, sehingga
belum bisa dikatakan sebagai representasi masya’ir serta ahasis
angkatan 2012.
Apapun bentuknya, kami sangat
mengapresiasi karya ini. Teruslah berkarya, mungkin harus dimulai dari hal-hal
kecil sebelum menuangkan hal-hal besar, sebuah sungai yang besar merupakan
penjelmaan aliran-aliran sungai kecil. Dengan menulis kita akan “abadi”
dikenang orang dan menulis juga merupakan bentuk aktualisasi eksistensi kita.
Selamat bagi anak-anakku yang sudah berkarya, semoga bermanfaat dan berkah. Amiin.
Mantingan, 19 Mei 2013