Hati ini
hanya terpaut pada satu pilihan, yaitu Gontor. Seakan jantung ini berhenti
berdetak, darah pun tak sanggup mengalir. Lemah tak berdaya. Hanya karena
iming-iming uang saku lebih yang akan kudapat, kuserahkan jiwa raga ini pada
ibunda Darussalam. Ibunda yang mengajariku apa arti hidup. Berbagai pelajaran
mulai dari mandiri, arti sahabat, dan penemuan jati diri.
Aku seorang yang ambisius. Atau mungkin
karena aku termasuk orang yang tak mau mengalah. Semua yang aku mau harus
kudapatkan. Tapi disini aku belajar bahwa apa yang aku inginkan belum tentu
baik untukku.bahkan Allah memiliki jalan sendiri yang pasti lebih baik untuk
kita jalani. Seperti Allah mengganti keinginanku untuk menjadi bagian olaharaga
menjadi bagian kafetaria. Sedih memang tapi inilah yang terbaik untukku
Allah telah menunjukkanku bagaimana
menjadi seorang pedagang yang harus memperhatikan secara detail dagangannya.
Memperhitungkan pendapatan setiap harinya, juga menunjukkan beratnya ibu
membersihkan rumah yang dituntut untuk selalu bersih dan higienis. Etalase,
kulkas, lantai yang lengket, gorengan jatuh, semua tak akan pernah hilang dari
ingatanku. Apalagi motto aneh yang kami buat bersama untuk menghilangkan rasa
jenuh dengan rutinitas kamiyang memang seperti itu setiap hari, DENGAN ROTI
LA-TANSA, SUSU KEDIRI, KAMI CIPTAKAN MANUSIA SEHAT SEPERTI KAMI. Tentu
khususnya aku yang kini terlihat benar-benar bengkak bagaimanapun joroknya dan
bengkaknya badanku, aku tetap sayang pada kafeku.
Dan kisah yang benar-benar selalu
terkenang adalah saat aku harus bertatap muka dengan bapak kyai. Bukan karena
aku orang yang memiliki nama di angkatan, bukan juga karena aku mumtaz
apalagi prestasi yang melambung, tapi karena kenakalanku yang membuncah.
Aku yang sekarang ini harus
menjalani hukuman akibat laundry baju tanpa melalui jalur yang telah ditentukan. Kesalahan yang selama
ini tersimpan rapi, pun terkuak juga. Kerudung orange-biru kini menempel di
kepalaku.
Pagi itu saat aku dan teman-teman
kafeku ingin berangkat ke kelas, tak sengaja berpapasan dengan ibu Nihayah,
istri dari bapak pengasuh kita. Mungkin beliau kaget melihat tetangganya yang
memakai jilbab berwarna belang ini.
“Ukhti, kenapa? Kok pakai
kerudung belang segala?”
Tak satu pun
dari kita berani menjawab pertanyaan beliau.
“Nanti sore datang ke rumah, ibu mau
ngomong sama kalian.”
Ibu nihayah
menanti kedatangan kami nanti sore, mungkin kita akan di nasehati oleh beliau.
Rumah beliau yang sedari tadi ramai oleh kunjungan ustadzah-ustadzah,
akhirnya kosong juga. “Assalamualaikum Ustadz, Ustadz ..mau nyari ibu,”
“Kenapa nyarinya ibu, sama saya saja ya?”
Beliau
menawarkan diriuntuk menggantikan bu Nihayah, kontan kami semua menggeleng
tanda tak setuju sambil tersenyum.
“Limadza laa turid? Maunya
kok sama ibu saja, sama bapaknya gak mau?”
Apa boleh
buat, kami terpaksa mematuhi beliau karena memang ibu sedang tak ada di rumah.
Wajahku memerah menahan malu akibat
ulahku, terlebih saat beliau tahu bahwa aku anak didik beliau enam C. Kelalaian,
kurang khusyu’ meremehkan, seakan diri ini benar-benar buruk di mata
Allah. Aku menyesal, sangat menyesal.
Nasehat demi nasehat beliau berikan
kepada kami, guna menjadikan kami manusia yang lebih baik dan disiplin akan
peraturan pondok. Aku sedikit lega ternyata beliau tidak marah. Hukuman-hukuman
kecil pun kami dapati seperti membersihkan halaman rumah setiap sore, mencabuti
rumput, dan belajar pagi di rumah beliau. Aku beruntung, hukuman ini setidaknya
membuatku rajin membuka buku yang memang jarang kujamah. Akupun semakin sadar
bahwa hukuman itu bukanlah demi membentuk
beban namun lebih dalam bentuk perbaikan.
(By. Alfaina Zia Inayati)