Dewasa adalah dapat menempatkan diri
dimanapun dan kapanpun itu. Setelah kelas enam pun kita harus siap diletakkan
dimana pun dan dengan yang tugas yang pondok amanahkan. Jadilah aku penjaga gerbang di gerbang Pakistan pada
panitia ujian. Kata orang bawwabah itu berbahaya dan menyeramkan, bukan karena
banyak setan atau makhluk halus apapun, tapi terlebih karena gerbang adalah
penyambung kehidupan dunia pondok dan luar sehingga menjadi sangat penting
untuk dijaga. Keterlambatan seakan tak diampuni walau semenit karena begitu
pentingnya.
Saat
hari pertama bawwabah aku terpaksa harus menjaga gerbang sendiri.
Minusnya bawwabah adalah faktor kejenuhan, terlebih lagi jika sendirian.
Antara lapar, ngantuk, mual, dan bajuku yang basah dikarenakan hujan membuatku
tak dapat membayangkan sembilan hari ke depan.
Untung saja aku mendapatkan pengganti partner yang cukup menyenangkan.
Terlambat ketika ke tempat bawwabah
membuahkan berdirinya aku ketika evaluasi pagi. Tentu saja aku malu di depan
teman-temanku. Akhirnya aku bertekat untuk bangun lebih pagi dan berlari agar
dapat tepat waktu tiba ditempat.
Hari-hari
bawwabah selanjutnya, yang pertama kali kuingat saat bangun tidur adalah
gerbanng Pakistan. Aku menyegerakan mandi dan siap- siap untuk berangkat
sebelum salah seorang temanku mengingatkan untuk sholat subuh.
Astaghfirullah! Ternyata yang kuingat
pertama kali bukanlah sholat melainkan gerbang Pakistan yang seolah tengah
menungguku datang. Berangkat sebelum fajar menjelang dan pulang hampir petang
karena penggantiku di sore hari belum juga datang yang kerap telat datang
membuatku seakan memiliki rumak ke dua di gerbang Pakistan.
Selesai
menjadi panitia ujian membuatku memiliki kenangan tersendiri dengan gerbang
Pakistan dan subuh. Pelajaran yang kuambil selain harus bermuka riang alias baasyasyatu-l-
wajhi adalah mengingat sholat sebelum pekerjaan lain.