Baru saja tadi aku diceritakan seorang teman
perihal kunjungan singkat Din Syamsuddin ke pondok. Ingin mampir sebentar,
begitu isi SMS beliau kepada bapak direktur. Yag dibahas pada pertemuan singkat
bersama para asatidz itu membahas tentang pondok pada saat ini,
kemajuan-kemajuannya, juga alumninya. Bagaimana alumni Gontor Putri? Apa sudah
ada yang menghasilkan dan berhasil? Kira-kira begitu isi pertanyaannya. Yang
dijawab oleh bapak direktur, mungkin belum. Karena anak putri begitu keluar
lalu menikah. Jadi berkarya hanya dalam lingkup domestik. Pembicaraan tentang
perempuan di antara laki-laki? Temanku tentu saja merasa tidak enak. Ingin
bertingkah bagaimana?
Kalau segala sesuatunya kita menilai dari segi
‘apa yang dapat kita lihat’, semuanya akan menjadi tabu. Apa yang dapat
perempuan hasilkan? Apa perempuan dapat berhasil?
Mengingat fitrah sebagai perempuan, yang
menikah menyempurnakan agama, berbakti pada suami, melahirkan, merawat anak dan
meneruskan pejuang agama Islam, apakah masih belum bisa disebut berhasil?
Bila yang dinilai adalah apa-apa yang dapat dilihat, mala cobalah
melihat dengan mata hati. Banyak hal tak dapat hanya dilihat dengan mata.
Seperti keberhasilan seorang perempuan. Berhasil berbakti kepada suami yang
dapat sukses, berhasil membesarkan anak yang sukses. Di belakang lelaki ‘adzim
ada perempuan sholehah.