Resensi Novel Rindu
Judul :
Rindu
Penulis : Tere Liye
Editor : Andriyati
Penerbit : Republika
Tebal Buku : ii + 544 hal; 13.5x20.5 cm
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2014
Penulis : Tere Liye
Editor : Andriyati
Penerbit : Republika
Tebal Buku : ii + 544 hal; 13.5x20.5 cm
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2014
Sebelum
membaca novel ini yang saya pikirkan adalah novel percintaan layaknya Aku, Kau
dan Sepucuk Angpau Merah atau Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin. Namun
ternyata prasangka ini salah dari halaman awal.
Dalam
sinopsisnya tertera,
Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan.
Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang
kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah
dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.
Kisah
dimulai dengan perjalanan awal kapal uap dari Makassar yang berlanjut ke
Surabya, Semarang, Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang dan Aceh untuk mengangkut
penumpang haji menggunakan kapal uap Blitar Holland.
Dalam
tiap perjalanan terdapat cerita berupa pertanyaan dan jawaban tentang kehidupan
yang berbeda. Pertanyaan pertama tentang kisah masa lalu yang memilukan dari
Bonda Upe. Seorang mualaf pecinan Manado yang masih belum bisa bangkit dari
keterpurukan masa lalunya. Apakah Allah akan menerima hajinya? Bagaimana
masyarakat kemudian akan memandangnya? Bagaimana bila anak-anak tahu bahwa guru
ngajinya memiliki masa lalu yang kelam?
Jawaban
dari pertanyaan ini tentu datang dari Burutta yang akan menjadi kunci dari
segala kisah-kisah dan pertanyaan.
“....
Orang lain hanya melihat luar. Maka tidak relevan penilaian orang lain. Kita
tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa
pun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap
perjalanan hidup yang kita lakukan...” (hlm. 313)
Pertanyaan
kedua datang dari Daeng Andipati, seorang saudagar asal Makassar dari keluarga
terpandang. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Meski
semua orang menganggapnya sebagai orang yang paling bahagia di kapal Blitar
Holland, memiliki harta benda, nama baik, pendidikan tinggi yang tak semua
orang bahkan Belanda pun mendapatkannya, istri yang cantik dan menggemaskan,
namun di balik itu ia masih merasakan kegelisahan pada kebenciannya yang pekat
sejak puluhan tahun silam.
“...
saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu
salah, dan kita benar. Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak
atas kedamaian di dalam hati...” (hlm. 374)
Selanjutnya
adalah tentang kehilangan kekasih hati dari pasangan paling romantis di kapal
itu. Mbah Kakung dan Mbah Putri, begitu orang lain memanggilnya. Betapa
hancurnya hati Mbah Kakung kehilangan belahan jiwa yang selama lima puluhan
tahun menemaninya melengkapi pertanyaan dalam hidupnya.
“...
Takdir, kita menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak pernah
bertanya apa perasaan kita, takdir bahkan basa-basi menyapa pun tidak. Namun
karena kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak
berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya.
Apakah bersedia menerimanya, atau mendustakannya..” (hlm. 472)
Pertanyaan
berikutnya adalah dari kelasi menarik kapal Blitar Holland, Ambo Uleng.
Satu-satunya kelasi pribumi dari Pare-Pare dan menguasai bahasa Belanda. Pergi
bersama kapal ini untuk melupakan sesuatu dari tempat asalnya. Pertanyaan yang
ia miliki adalah apa itu cinta sejati? Dalam sesi ini Gurutta pun menceritakan
sedikit potongan hidupnya tentang kehilangan cinta.
“...
Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memliki, maka sebesar apa
pun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya..” (hlm. 493)
Dari
empat pertanyaan dan jawaban yang diberikan oleh Gurutta, justru ialah pemilik
pertanyaan kelima. Dalam hati ia selalu risau. Bagaimana bisa ia menjawab,
berkata, didengarkan, menasihati di saat ia sendiri masih belum bisa
menggerakan diri. Tentang kemunafikan. Jawaban pertanyaan terakhir ini bukan
berupa kata, namun perbuatan yang disadarkan dari kelasi pendiam, Ambo Uleng.
Pertanyaan-pertanyaan
yang menjadi inti dari kisah ini baru dimulai di pertengahan buku. Semula
dengan alur yang lambat saya hampir menyerah meski disisipi unsur sejarah pada
zaman itu, geografi Indonesia, pengetahuan perkapalan dan laut, kisah Anna
bungsu Daeng Andipati, serdadu Belanda yang menyusahkan dan keharmonisan
Belanda pada pribumi yang kontra dengan penjajahan. Namun bukan Tere Liye jika
tak mempu menyembunyikan kejutan terbesarnya. Gaya penulisan yang tak dimiliki
oleh penulis lain. Selalu ada pelajaran berharga yang dapat diambil. Terutama
dari novel Rindu yang menampilkan pertanyaan kehidupan yang biasa kita temui
disertai jawaban khas Tere Liye.
Entah
kebetulan atau memang takdir Allah, sebelum membaca novel Rindu saya sendiri
sudah tiga kali bermimpi tentang Makkah. Maka semakin lengkaplah kerinduan
untuk mencapai Bait Haram. Allahumma haqqiq amalana ziyarata baytika..
Comments
Post a comment