Selasa,
20 Januari 2015
Kamar
– 04.42 waktu setempat
Sayang
sekali. Ustadz Ihsan Qasim cukup lelah kemarin pagi sehingga ia menutup
pelajaran lebih cepat. Padahal judul besar hari itu adalah bagaimana Rasail Nur
mempengaruhi diri pembacanya. Karena di samping membaca, para Thullab an-Nur
juga mengamalkannya sedikit demi sedikit hingga berimbas pada ihsan.
Setelah
makan siang rencana awal kami akan mendatangi Universitas Istatnbul. Namun sebelum
itu ternyata kami mampir sebentar ke masjid kecil yang dulunya bekas gereja. Cerita
yang sama seperti Aya Sophia. Arsitektur bangunan tersebut tak serupa dengan
kebanyakan masjid yang ada di Istanbul. Biasanya berwarna abu-abu klasik dan
memiliki banyak menara (hal yang baru kuketahui ternyata banyaknya menara
tergantung siapa yang membuat. Satu menara berarti buatan per seorangan, dua
menara miliki yayasan, banyak menara milik sultan-sultan zaman dulu). Kecil saja,
namun ia memiliki sejarah yang panjang.
Universitas
Istanbul memang tak jauh dari markas kami. Seperti kampus pada umumnya, ia terbagi-bagi
di beberapa tempat. Ada sedikit masalah di awal karena universitas memiliki
peraturan yang cukup ketat. Kalau kata temanku, istilah TAMU HARAP LAPOR juga
berlaku dimanapun. Minggu-minggu ini sebenarnya sudah libur, namun ada beberapa
fakultas yang masih melaksanakan ujian semester.
Universitas
Istanbul merupakan salah satu universitas terbaik di dunia dengan peringkat
300an. Menurut salah seorang IKPM yang juga berkuliah di sana, lulusan kampus
ini akan mendapat ijazah standar Eropa. Seperti yang aku sebutkan di postingan
lalu bahwa Turki adalah negara Asia-Eropa yang masih Asia.
Kami
shalat Ashar di masjid Sulaiman. Masjid yang pernah kami lewati di hari awal
dan sangat dekat dengan Universitas Istanbul. Para pekerja sedang menanam
kembali tanaman di halaman depan masjid. Salah seorang pemuda mendekatiku.”Arab?”
Aku mengangguk. Ia kemudian menjelaskan panjang lebar bahwa ia adalah pengungsi
Syria dan kelaparan. Istanbul adalah kota keren, namun minus karena pengungsi
Syria yang menjadi pengemis (bahkan untuk anak-anak mereka menodong) dan budaya
merokok yang sangat tinggi. Masyarakat Turki sendiri mengetawai aksi pengemis
Syria tersebut. Suatu hal yang masih belum kupahami.
Kami
kembali. Yang ternyata diajak ke Fakultas Ilahiyat alias Fakultas Ushuluddinnya
Universitas Istanbul (kalau ada emoticon heboh teriak bisa ditambahkan). Bahkan
berkesempatan untuk duduk di salah satu kelasnya.
Kami
diajak bertemu salah seorang doktor filsafat yang menjadi dosen disana. Biasa saja.
Dengan style ala kadarnya dan sangat ramah. Seperti cerita dosen Azhar
yang juga menaiki metro untuk pergi ke kampus. Di Gontor pun bisa ditemui sosok
guru berjas menaiki sepeda atau gueu bermotor membawa sapu. Bukanlah hal yang
aneh. Pelajaran yang aku tekankan lagi saat itu adalah tentang derajat manusia.
Dalam AL-Qur’an sudah dijelaskan bahwa Allah meninggikan derajat manusia yang
beriman dan menuntut ilmu. Derajat manusia bisa menjadi tinggi bukan karena
pakaian yang ia kenakan, mobil yang dikendarai, ponsel yang dipakai, namun
tentang apa yang ada di dalam otak dan hati.
Diskusi
singkat saja, namun banyak sekali pelajaran yang kuambil. Doktor tersebut
mengatakan bahwa minum teh bisa menambah iman kita. Ada apa dengan teh? Budaya masyarakat
Turki adalah minum teh di gelas yang kata temanku seperti tabung kimia kecil
dan memiliki rasa pekat. Tentu saja harus diminum bersama teman untuk
berbincang. Ia menjelaskan, saat kita minum teh bersama maka kita akan
mengobrol tentang ilmu dan iman. hingga bisa dikatakan saat minum teh kita
menambah iman kita. Benar juga.
Satu
sosok dengan pertemuan yang kurang dari tiga puluh menit itu sudah banyak
memberikanku refleksi. Ia seperti padi dalam istilah Indonesia. Semakin tinggi
semakin merunduk.