Rabu,
21 Januari 2015
13.30
waktu setempat
Sungguh
ini adalah ungkapan kesedihan. Aku tak menyangka bahwa pelajaran kami bersama
Ustadz Ihsan Qasim harus berakhir hari ini. Esok kami akan ditelaahi oleh
seorang pengajar perempuan bernama Aisyah, Jum’at kami akan mendatangi sekolah
telaah Rasail Nur, Sabtu kami akan mengadakan perjalanan ke Bursa (tempat
dimana diadakannya perjanjian Nicea untuk menetapkan trinitas Yesus) dan lusa
kami akan kembali ke Indonesia.
Rasa
ini hampir sama seperti saat Ustadz Hidayatullah pindah. Betapa ilmu dan
pelajaran hidup darinya belum kuambil sempurna. Rasa ini juga yang kurasakan
saat lulus KMI. Betapa banyak sekali hal yang belum kulakukan dengan baik. Namun
ilmu itu luas tersebar di penjuru dunia. Bahkan siapa sangka orang yang duduk
di sebelahmu kini sedang memberikanmu ilmu. Kata salah seorang guru, semua
orang adalah guru bagi kita. Saat ia memberikan pelajaran baik secara lisan
ataupun hal, maka ia pantas disebut guru.
Hari
ini kami menuntaskan pelajaran ikhlas yang kemarin lalu terpotong. Dengan dosen
pembimbing semua contoh menjadi ma’hadi. Ustadz Ihsan Qasim tak biasanya datang
terlambat. Itupun karena ia baru saja kembali dari India. Untuk memenuhi janji
bersama kami (yang ternyata menjadi akhir).
Kali
ini beliau mulai dengan permisalan seekor domba yang keluar dari sekumpulannya.
Sang penggembala melemparnya dengan batu, kemudian domba tersebut kembali. Ia sadar
akan kesalahan dan mengikuti sekumpulannya menuju jalan yang benar. Aaah....
sering kali manusia tak sadar juga sedang diingatkan. Peringatan agar kita
kembali pada jalan yang benar. Baik dengan musibah ataupun kebahagiaan. Perumpamaan
seperti ini agar kita sadar. Hewan saja tahu masak kita tidak.
Hanya
pertempuan pendek namun memiliki makna dan pelajaran yang sangat besar.
Setelah
shalat Dzuhur tadi kami memberikan kenang-kenangan untuknya. Beberapa pesan
yang beliau berikan (yang masih kuingat) adalah harga buku dalam bacaannya dan
untuk selalu berdoa.
Uusiikum
wa iyyaya nafsii bitaqwallah