24
Januari 2015
Kamar
– 22.05
Lelah
sebenarnya. Kami baru saja sampai satu jam yang lalu setelah perjalanan panjang
dari Bursa. Alasan kenapa ada di postingan setelahnya Insya Allah. Seharusnya tulisan
ini sudah ada sejak kemarin lalu karena perjalanan ke Aya Sophia (aku lebih senang
menyebut begitu) adalah setelah pelajaran kami di Rustam Pasha.
Memang
benar bahwa Aya Sophia dan Blue Mosque adalah maskot Istanbul (Turki bahkan). Sehingga
bisa dikatakan bahwa belum ke Turki kalau belum keduanya seperti kita yang
mengatakan bahwa belum ke Madura kalau belum makan bebek Sinjay. Letak yang
berdekatan ditambah Topkapı membuat
kawasan ini sangat ramai didatangi.
Aya Sophia
sendiri melegenda karena bangunan yang asalnya gereja kemudian dijadikan masjid
saat pemerintahan Muhammad II lalu dijadikan museum pada masa Attaturk. Saat menjadi
masjid, simbol-simbol kekristenan ditutup dengan semen dan diberikan sentuhan
Islam seperti masjid-masjid kebanyakan. Kaligrafi tulisan Allah, Muhammad, Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hasan dan Husein. Namun saat menjadi museum semen
tersebut dibuka sehingga kita dapat melihat lukisan Maria antara kaligrafi
Allah dan Muhammad di tengah-tengah bangunan. Belum lagi beberapa peninggalan
zaman ia masih menjadi gereja dan masjid yang dijaga dengan baik. Penjual souvenir
pun membagi cindera mata menjadi khas Islam dan Kristen.
Aku berdecak
kagum melihat semua fakta tersebut. Di awal aku pun sudah mengunjungi masjid
kecil yang aslinya gereja tak jauh dari foundation. Sebagai bukti bahwa
kekuatan Islam sangat besar dulu (dan sekarang sedang bangkit). Untuk kali ini
tak cukup diceritakan, namun harus dirasakan. Karena energinya akan muncul saat
melihatnya sendiri secara langsung.
Dari
perjalanan awal kami selalu dikira orang Malaysia. Baik dari penjual sok tahu
yang merayu gombal atau orang asal lewat. Namun sekeluarnya dari Aya Sophia aku
dikejutkan oleh seorang perempuan asal Belgia yang bekerja di Turki menyapaku
dengan Bahasa Indonesia. Rupanya ia sedang kursus Bahasa Indonesia di kedutaan
dan sedang praktek dengan temannya. Ia langsung tahu bentuk wajah kami yang
sangat Indonesia. Namun kejutan tersebut belum berakhir. Saat akan keluar Aya
Sophia, seorang lelaki Turki menyapaku dengan Bahasa Indonesia. Ia sangat kenal
dengan mata perempuan Indonesia. Rupanya ia sudah lancar bicara Bahasa
Indonesia selama dua tahun dan bolak-balik Indonesia lebih dari sepuluh kali. Saat
itu ia sedang menjadi guide dari rombongan umrah plus Indonesia.
Aku sendiri
sudah berjanji. Bila suatu saat pergi ke luar negri lagi, aku akan pakai tas
batik atau tas Bali atau apapun yang bisa menunjukkan Indonesia. Tak hentinya
seorang teman selalu sewot menjawab, “I am Indonesian. Not Malaysia.”