Di akhir
pembekalan, guru kami berkata bahwa kita tidak bisa menutupi diri kita saat
perjalanan. Bahkan perjalanan dianggap sebagai ajang untuk mengetahui kawan. Bahkan
menurut Umar bin Khattab kita belum bisa dikatakan ‘kenal’ dengan seseoarang
bila belum pernah bepergian bersamanya atau bermuamalah maliyah dengannya.
Tulisan
kali ini singkat saja. Karena bahasan selanjutnya memiliki tema yang berbeda.
Perjalanan
ini terhitung dua belas orang bersamaku. Tentu saja dengan sifat dan
karakteristik yang berbeda. Bukan hal asing untuk kembali mengenal orang lain. Terlebih
teman seperjalanan ini adalah orang-orang yang sudah pernah hidup hampir
sembilan tahun meski tak harus satu atap.
Egoisme
dalam perjalanan adalah tabu. Mengetahui diri kemudian diri orang lain adalah
kuncinya. Kita tidak akan bisa menghendaki suatu hal pada orang lain, namun
bila melakukan kesalahan sudah sewajibnya bagi kita untuk mengingatkan. Salah seorang
alumni pernah berkata padaku bahwa hidup di lingkungan pondok itu terjaga. Karena
bila kita melakukan kesalahan selalu ada yang mengingatkan. Namun tentu hal ini
berlaku bagi orang-orang yang ingin diingatkan.
Bagiku
kebersamaan seperti ini (yang tentu saja sudah sering kujalani) adalah kata
lain dari memahami, mengerti, mengingatkan dan menolerir karena sebuah ikatan
yang selalu kita sebut sebagai ukhuwah islamiyah. Tuh kan, Gontor jiddan lagi.