Kuala
Lumpur International Airport.
Selasa,
13 Januari 2015
23.45
waktu setempat
Saat
ini aku sedang duduk sendiri menunggu barang selagi temanku yang lain makan
malam (telat) dan shalat. Adanya kami disini hanya untuk transit yang untungnya
lama (setelah sebelumnya merutuki karena dianggap terlalu lama).
Jujur
saja. Ini adalah perjalananku yang paling panjang. Perjalanan ini pula yang
menjadi pengalaman internasional pertamaku. Nanti jam dua waktu setempat kami
akan bertolak ke Doha untuk transit lagi
kemudian baru ke tujuan yang sebenarnya di Istanbul. Sehingga beberapa hari
sebelumnya kami banyak diberitahu teknis perjalanan ke luar negri. Kali ini
pelaksanaannya.
Aku
sendiri tak pernah menyangka. Dalam perjalanan domestik aku sudah lumayan
berpengalaman. Sehingga tidak begitu memikirkan bagaimana nanti di airport
Jogja. Dalam bayanganku hanya menunggu lama sambil melihat orang lalu lalang di
bandara kecil.
Namun
siapa sangka. Ternyata aku malah bertemu dengan istri salah seorang Badan Wakaf
yang juga akan bertolak ke Kuala Lumpur dengan pesawat yang sama (beliau
kemudian duduk di belakangku) bersama anaknya, Mufid (8 tahun).
Memang
benar. Dalam setiap perjalanan selalu ada pelajaran. Banyak sekali pelajaran
yang kudapatkan dari beliau. Sembari menemani Mufid main game di ponselku yang
baru ia download, ia bertutur.
Di
pondok semua orang harus rajin. Kalau tidak, maka akan kalah meski ia pintar.
Beliau sendiri mengakui bahwa dirinya tak pintar. Rata-rata, standar lah. Tapi
tetap rajin. Karena disanalah kunci keberhasilan yang sesungguhnya.
Di pondok
kita akan menemukan berbagai macam sifat. Termasuk juga kadar kepintaran. Ada yang
pintar karena rajin, pintar walau tak rajin, rajin tapi biasa saja dan sudah
biasa saja tapi tidak rajin. Ini seperti pembagian dalam golongan manusia. Yang
tahu dan ia tahu bahwa ia tahu, tahu tapi tak tahu bahwa ia tahu, tak tahu tapi
tahu bahwa ia tak tahu dan tak tahu tapi tak tahu bahwa ia tak tahu.
Konsep
belajar tiap orang tentu saja berbeda. Kalau konsepku, berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian. Belajar di awal, paham, kemudian saat UTS atau UAS
tinggal mengulang tanpa harus begadang. maka kadang kala aku tak begitu setuju
dengan petuah Imam Syafi’i. Wa man thalaba al-‘ula sahira al-layali. Karena
aku sudah tidur tepat pada waktunya, bukan berarti aku tak thalabu al-‘ula. Namun
tiap orang punya konsepnya masing-masing.
Saat
kuliah, terutama di UNIDA. Orang pintar itu akan selalu akalah dengan orang
rajin. Kalau sudah pintar dan rajin itu baru pemenang.selamanya yang malas tak
akan pernah menang. Banyak teman yang semasa menjadi santri (meski kini masih
santri juga) biasa saja. Kesempatan dalam kompetisi di angkatan kami sangatlah
sengit. Namun bagaimana kita dulu tak begitu berguna, yang ada adalah bagaimana
kita yang sekarang. Justru yang biasa saja itu malah banyak yang luar biasa
selanjutnya. Karena sudah tahu kesalahan apa yang dilakukan dulu hingga menjadi
biasa saja.
Penerbangan
Yogyakarta-Kuala Lumpur ditempuh dalam dua jam. Karena cuaca buruk perjalanan
kami tidak begitu mulus. Tak biasanya pula aku masih terjaga. Kemudian aku
terpekur. Apa yang aku hasilkan dalam perjalanan panjang ini?
*late
post
Dengan
berbagai tambahan