Senin, 1 Agustus 2016
Sembari menunggu
selesainya gladi PBB kedua di kamar. Panas sangat menyengat.
Aku sepertinya hapal
sekali begaimana rasanya waktu mampu membunuhku. Diam tanpa melakukan apapun.
Terlebih menunggu. Maka tadi saat pemeriksaan RPS sejak jampel ketiga hingga
keenam aku memutuskan untuk membawa buku tulis Istanbul yang selalu kubawa saat
menjaga perpustakaan KMI dulu. Isinya adalah hasil bacaku yang lebih banyak
mengenai petuah hidup. Aku ingat. Ada satu buku menarik yang belum selesai kubaca.
Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin.
Di bab awal buku ini
terdapat bab ilmu. Hal yang menurutku sangat menarik. Karena judul besar buku
ini adalah tasawuf dan ilmu menjadi dasar dari segala hal, membuat Ihya’ bagiku
adalah salah satu pedoman orang yang tak perlu lagi memikirkan dunia.
berilmu-beragama-beramal.
Salah satu yang
mengusik hatiku sebagai sarjana fakultas Ushuluddin, apalagi Aqidah, adalah
bila semua ilmu yang kumiliki itu tak bisa kuamalkan. Bila saja tak dapat
dengan baik kusebarkan, paling tidak sudah dapat aku aplikasikan dalam
kehidupan. Mengenai bagaimana cara berpikir, berakhlak dan beragama,
Man izdada ‘ilman wa
lam yazdad hudan lam yazdad mina Allah illa bu’dan.
Bukan hanya karena
mahfudzat kelas satu dulu, ilmu tanpa amal layaknya pohon tanpa buah. Namun
esensi lain yang baru kutemukan. Perintah untuk selalu tafaqquh fi al-din
itulah yang menjadi kunci Muslimin untuk menjadi hamba yang selalu mengupgrade
dan improve diri. Itulah mengapa Allah katakan bahwa Ia meninggikan derajat
orang yang berilmu. Bukan hanya sekedar deretan angka ataupun huruf. Bukan
sekedar bagaimana orang lain menganggap kita dengan ilmu yang dimiliki.
Aku masih harus
memperbaiki diri.