(Bukan) Orang Baik
“Jangan pacaran!”
“Jangan lupa sholat!”
“Jangan dekati api!”
“Jangan makan jeruk kalau perut sedang kosong!”
-dan lain-lain
Interpretasi kita akan berbeda-beda dengan kalimat larangan di atas. Bisa
jadi ada yang mengatakan orang yang melarang pacaran dan mengingatkan untuk
sholat sebagai sok alim. Namun bisa juga orang itu tahu agama. Entah hanya
permukaannya saja, dangkal ataupun dalam. Semua orang tahu bahwa pacaran tidak
diperbolehkan karena mendekatkan kepada mudharat dan sholat adalah sebuah
kewajiban.
Dua kalimat larangan terakhir, karena dilakukan oleh semua orang, maka
tidak akan ada komentar bagi orang yang melontarkan larang tersebut. Kamu nggak
harus menjadi seorang profesor atau dokter untuk melarang seseorang mendekati
api karena akan panas dan kebakar atau melarang seseorang untuk memakan jeruk
bila perut sedang kosong karena akan meningkatkan asam lambung. Karena sayang
maka dilarang. Karena takut kamu terbakar, maka dilarang mendekati api. Karena
khawatir bila kamu sakit perut atau maag, maka dilarang makan jeruk bila perut
dalam keadaan kosong. Sama juga dengan dua kalimat larangan pertama.
Pada beberapa hal seperti ibadah, sosial dan gaya hidup, seseorang akan mengikuti apa kata dirinya dan bagaimana
ia tumbuh bersamanya. Ada yang memilih untuk memperbaiki diri dengan
mengupgrade diri atau recharging dengan berbagai caranya. Bisa dengan melihat,
mendengar, mencontoh dan terinspirasi. Meski ada juga yang malah memperburuk
dirinya dengan empat cara tersebut.
Agar tidak memperburuk diri, Alhamdulillah kita masih memiliki orang-orang
yang sayang dan peduli untuk mengingatkan. Bukan hanya para ulama dengan
kearifan ilmunya, kebaikan akhlaknya dan ketajaman lisannya, tapi juga
orang-orang baik tak bungkam untuk peduli terhadap diri kita. Meski bukan
bertitel ulama, orang-orang baik itu ada yang memiliki sedikit jejak kebaikan
para ulama dan ada pula yang masih berusaha menjadi baik. Tidak harus menunggu
baik untuk sayang dan peduli kepada sesama.
Sayangnya, berapa sih dari kita yang masih suka mencibir, “Emang lo siapa
bisa ngomong gitu? Punya ilmunya nggak”, yang justru malah menyudutkan para
penyebar rasa sayang tersebut. Tak ayal akhirnya banyak juga yang tidak berani
speak up untuk saling mengingatkan dan mengajak kepada kebaikan. Memang sudah
sewajarnya bila ada yang mengatakan bahwa orang yang mengingatkan itu harus
bisa baik terlebih dahulu (komentar ini banyak saya temukan di pondok ketika
seorang a’do’ diingatkan mudabbirah atau seorang temen yang hanya mau
diingatkan oleh ketuanya). Pertanyaannya adalah, bila menunggu semua orang
untuk baik terlebih dahulu agar bisa mengingatkan orang lain sebagai tanda
kasihnya, maka tidak akan ada yang mau mengingatkan kita. Kelak mungkin hanya
seorang expert seperti ulama atau profesor saja yang akan didengar. Bahkan tiap
orang memiliki standar baiknya sendiri sehingga ukuran tersebut menjadi
abstrak.
Saya tulis ini sebagai perwakilan diri akan ketakutan bahwa saya juga bukan
orang baik. Bagaimana mungkin saya bisa menulis dan mengungkapkan ini itu
sedangkan diri sendiri masih berantakan. Tapi ada satu statement yang cukup
menginspirasi saya. Done is better than perfect. Bila saya menyempurnakan diri
terlebih dahulu, maka saya tidak akan pernah bisa menulis apapun. Termasuk
tulisan ini.
Surabaya, 9 Oktober 2017
Bersama secangkir black tea rasa mint
Comments
Post a comment