Menghadapi Berbeda
Sewaktu masih di pondok saya mengalami sedikit sekali
perbedaan. Mungkin hanya perbedaan ide, tanpa merubah konsep asli. Kalaupun ada
maka itu adalah pembaharuan yang bersifat teknis. Bukan ideologis. Karena di
Gontor kami sudah memiliki konsep jelas hasil ijtihad para kyai selama sembilan
puluh tahun lebih berkiprah di Indonesia.
Di Gontor saya bertemu dengan banyak sekali jenis manusia
yang berasal dari berbagai ras. Sehingga tak bisa dipungkiri watak setiap
individu pun berbeda-beda. Namun selalu ada hal yang menyatukan kami, yaitu
nilai-nilai Islam, Iman, Ihsan dan kepondokmodernan. Bila belum bisa memahami
pondok, maka kami tidak akan bisa mengungkap tabir islam, iman, ihsan yang
berada di sela-selanya.
Saat saya keluar dari pondok, tentu nilai-nilai
kepondokmodernan tidak bisa menjadi pengikat atas perbedaan. Sementara perbedaan
terus saja muncul mengagetkan saya. Mungkin bagi orang lain saya juga berbeda. Tapi
bagi saya yang besar di pondok, perbedaan-perbedaan itu adalah hal asing. Salah
saya karena dulu memang tidak begitu peduli dengan kondisi umat dan bangsa. Yang
saya pedulikan dulu adalah apa yang apa yang bisa saya lakukan untuk pondok,
teman, santri, adik kelas dan diri sendiri. Padahal kini saya hampir kehilangan
semua momen itu. Perbedaan adalah sebuah realita yang perlu saya sikapi dengan
bijak.
Klise memang. Tapi inilah sedikit yang bisa saya baca
dari keadaan.
Bila kita menghadapai perbedaan agama, sampai
akar-akarnya pun sudah pasti akan berbeda. Hanya kesadaran akan berbangsa yang
bisa menyatukan kita. Bila beda bangsa pun kita memiliki nilai yang bernama
kemanusiaan.
Bila kita menghadapi perbedaan pemikiran dan madzhab,
hanya keimanan dan keislaman yang bisa menyatukan kita. Saya punya cara pandang
sendiri yang tentu tidak semua orang miliki. Pun sebaliknya.
Dalam menyikapi perbedaan kita tidak perlu saling
membenci, memaki, atau merasa paling benar dan yang lain salah. Bukan konsep
relatif yang mau saya utarakan. Ini tentang toleransi. Menerima perbedaan tanpa
harus membenarkan yang berbeda. Karena kita punya prinsip dan keyakinan. Kalau kata
kyaiku, toleransi harus dilaksanakan kecuali toleransi syariat. Orang yang
tidak melaksanakan syariat itu tidak bisa ditoleransi. Dengan catatan bahwa
syariat yang dimaksudkan adalah yang bersifat ushuli, bukan furu’i apalagi
masalah khilafiyah.
Memang sih kalau kita tidak suka sama seseorang atau
sesuatu maka tangan dan mulut ini gatal kalau tidak mengutarakannya. Tangan yang
ingin segera typing hate status atau hate comment dan mulut yang ingin segera
memaki atau paling tidak membicarakannya dengan orang lain. Kalau kata seorang
teman, hal seperti itu kalau ditahan malah kita yang sakit dan menyesakkan. Saya
hanya bisa komen, bitter but sweet.
Love and peace J
Senin, 21 Mei 2018/5 Ramadhan 1439
Di kamar depan setelah pusing baca materi UAS besok dan
beralih ke masak sahur lalu menulis *nggapenting
Image source https://unsplash.com/photos/y0HerwKQLMk
Comments
Post a comment